Wednesday, March 25, 2009

Mengiris Hati, Kasus Anggaran Pendidikan di Malang

Sungguh, hati kita pasti akan teriris-iris, ketika melihat tayangan televisi ketika seorang/ beberapa anak murid dan bukan guru/ wakil kelasnya mempertahankan kursi dan meja sekolahnya yang akan disita oleh pihak ketiga yang mengadakan meubelair tersebut. Itu semua karena pihak ketiga belum mendapat pelunasan atas pekerjaan yang telah dilakukannya tiga tahun lalu.

Ini harus menjadi perhatian bagi semua warga Anggaran, baik di tingkat pusat maupun daerah, sebagai pengelola APBN maupun APBD.

Silahkan simak saja artikel berikut:

DUNIA pendidikan lagi-lagi mendapat tamparan keras. Akibat proses pembayaran proyek pengadaan meja dan kursi di sejumlah sekolah dasar negeri di Malang tidak kunjung beres, pihak kontraktor pun menarik kembali perangkat sekolah tersebut.

Proses belajar-mengajar di sekolah itu mau tidak mau terganggu. Di beberapa lokasi, penyitaan meja kursi dilakukan saat para siswa sedang belajar.

Proses penyitaan itu bahkan diwarnai tarik-menarik dan tangis siswa sehingga menjadi pemandangan yang sungguh-sungguh memilukan sekaligus memalukan.

Kasus itu muncul sebagai buntut dari kontroversi proyek pengadaan mebel yang masuk Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kabupaten Malang 2006 sebesar Rp2,9 miliar.

Proyek pengadaan mebel berupa meja dan kursi itulah yang dibagikan kepada sejumlah sekolah dasar negeri di sejumlah kecamatan di Kabupaten Malang.

Pemerintah Kabupaten Malang ketika itu menggandeng sekitar 33 rekanan. Selanjutnya, para rekanan itu mengikutsertakan sejumlah perajin.

Dari 33 rekanan itu, hanya lima kontraktor yang memenuhi spesifikasi dan dibayar pemerintah daerah. Yang mengherankan, proses pembayaran itu hingga tiga tahun tidak kunjung beres. Akibatnya sang pengusaha terpaksa harus menyita meja dan kursi dari sekolah.

Kasus penyitaan perangkat mebel di Malang itu jelas mencoreng dunia pendidikan. Kasus yang tidak masuk akal sampai terjadi sebab anggaran sektor pendidikan terus meningkat bahkan membengkak hingga Rp224 triliun karena sudah dipatok 20% dari APBN 2009.

Karena itu, kasus penyitaan mebel di Malang itu semestinya tidak boleh terjadi. Pemerintah kini punya dana banyak untuk membangun infrastruktur sekolah, penyediaan buku dan perlengkapan sekolah, serta kesejahteraan guru.

Kasus di Malang itu lagi-lagi mencerminkan bahwa penggelontoran dana yang sangat besar belum diimbangi dengan penyiapan program yang jelas dan terarah, terlebih pengawasannya.
Fakta juga membuktikan banyak departemen dan pemerintah daerah yang tidak mampu menyerap anggaran yang dialokasikan. Tidak sedikit departemen maupun pemerintah daerah yang membuat program seadanya, bahkan mengada-ada.

Itu sebabnya, banyak pemda yang kerap menempatkan dana di Sertifikat Bank Indonesia. Tanpa berpikir dan bekerja keras, mereka bisa menangguk bunga SBI.

Di lain pihak, Departemen Pendidikan Nasional juga tergolong badan pemerintah yang buruk dalam mengelola keuangan negara.

Tak mengherankan bila Badan Pemeriksa Keuangan kerap memberikan cap disclaimer kepada departemen itu. Karena itu, terkatung-katungnya proses pembayaran proyek mebel di Malang hingga tiga tahun memperlihatkan ada sesuatu yang tidak beres, bahkan patut diduga keras ada sesuatu yang busuk. Sebagian LSM setempat bahkan menuding ada korupsi dalam kasus itu.

Anggaran pendidikan yang besar ternyata tidak otomatis membuat segala persoalan lancar. Keteledoran dan ketidakbecusan pejabat pemerintah di Malang itu pun harus dibayar mahal. Para siswa yang sebentar lagi menghadapi ujian nasional terpaksa belajar beralaskan tikar. Sungguh ironis.

Di Copy Paste by Wawan Setiawan
dari Media Indonesia dengan izin

No comments: